PROBLEM SOLVING MATHEMATICS

Belajar lewat Melakukan bukan Menghafalkan

Mutadi, S.Pd., M.Ed.

Pendahuluan

Pengajaran matematika selama ini sebagaimana yang digambarkan oleh Griffith dan Clyne (1994, h. 17) cenderung dikembangkan melalui pola pengajaran teori – contoh – latihan. Pola ini perlu ditinjau kembali sebab, pertama, sebagaimana yang dinyatakan oleh Groves (1989, h. 11) pengajaran matematika yang didasarkan pada “teori – contoh – latihan” hanya menyajikan suatu pandangan yang sempit tentang matematika, dan tidak pernah menyarankan bahwa mathematics is something done by people and it can be used in our real life. Alasan yang lain adalah, dari pandangan para constructivist, sebagaimana Burton (1992, h. 16) katakan bahwa proses belajar mengajar harus memungkinkan murid untuk mengkonstruksi pemahaman mereka sendiri tentang matematika secara mendalam yang didasarkan pada apa yang mereka telah ketahui (previous knowledge) dari pada hanya sekedar melalui cara penyampaian yang formal.

Problem Solving Sebuah Alternatif

Istilah problem solving ada pada berbagai profesi dan disiplin ilmu dan memiliki pengertian yang berbeda. Problem solving dalam pengajaran matematika memiliki arti yang khusus (Branca, 1980, h. 3). ‘Problem solving dalam matematika adalah proses dimana seorang siswa atau kelompok siswa (cooperative group) menerima tantangan yang berhubungan dengan persoalan matematika dimana penyelesaiannya dan caranya tidak langsung bisa ditentukan dengan mudah dan penyelesaiannya memerlukan ide matematika’ (Mathematics Course Development Support Material 1989: Dikutip di Blane dan Evans, 1989, h. 367). Dalam problem solving, biasanya, permasalahan-permasalahan tidak tersajikan dalam peristilahan matematika. Permasalahan yang digunakan dapat diangkat dari permasalahan kehidupan nyata (real life situation) yang pemecahannya memerlukan ide matematika sebagai sebuah alat (tool).

Problem Solving dalam Pengajaran Kelas

Ada sejumlah alasan kuat mengapa problem solving perlu ditekankan sebagai aspek penting dan sangat berarti dalam menciptakan pengajaran matematika yang efektif. Alasan pertama adalah harapan untuk membuat matematika lebih dapat diterapkan (more applicable) dalam kehidupan murid diluar pengajaran kelas atau dalam situasi baru yang belum familiar (Penglley, 1989, h. 10). Alasan yang kedua adalah problem solving memberikan kesempatan (opportunities) dan dapat mendorong siswa berdiskusi tentang dengan siswa yang lainnya, yaitu pada proses menemukan jawab dari permasalahan (Gervasoni, 1998, h. 23). Alasan lebih lanjut mengapa pendekatan problem solving sangat berharga (valuable) adalah karena problem solving dapat mendorong murid untuk menyusun teorinya sendiri (their own theories), mengujinya, menguji teori temannya, membuangnya jika teori tersebut tidak konsisten dan mencoba yang lainya (NCTM 1989: Dikutip di Taplin, 2001).

Aspek-aspek yang perlu diperhatikan

Dalam upaya untuk mengembangakan strategi pengajaran problem solving, ada beberapa aspek yang perlu difikirkan. Sebagaimana Pengelly (1989, h. 2) menyatakan bahwa ketika mengembangkan problem solving skills, terutama dalam hal mendesain permasalahan, guru perlu memperhatikan latar belakang matematika anak. Disamping, strategi pembelajaran problem solving perlu melakukan penyeleksian persoalan yang layak (appropiate) untuk muridnya. Permasalahan yang dipilih harus menantang (challenging), terbuka untuk berbagai cara penyelesaian (variety of method of solution), dan nampak sedikit matematikanya (low in mathematical content) (Hodgson, 1989, h. 350).
Berkaitan dengan hal ini, Thompson (1989, h. 275) menyarankan bahwa perlu menyeimbangkan tingkat kesulitan. Jika problem terlalu sulit dan murid murid tidak mampu memecahkan maka mereka mungkin akan menjadi putus asa (disillusioned) dan motivasinya menjadi melemah (waiver). Jika permasalahan yang dihadapi oleh murid terlalu mudah, menyebabkan mereka tidak tertantang dan sekali lagi mereka akan kehilangan motivasi. Sebagai tambahan, Schoenfeld (dikutip di Taplin, diakses: 5 Maret 2001) juga menyarankan bahwa permasalahan yang baik haruslah sebuah persoalan yang dapat diperluas untuk dieksplorasi secara matematik (mathematical explorations) dan digeneralisasikan.

Implementasi problem solving

Dalam diskusi kemungkinan implementasi matematika problem solving, saya yakin bahwa sekurang-kurangnya ada tiga faktor penting yang harus difikirkan. Pertama, merubah peranan guru (changing the role of teacher). Kedua, merubah susunan kelas (changing classroom management) dan, ketiga, menganalisa topik dalam kurikulum matematika Indonesia yang mungkin dapat mengakomodasi dan lebih efektif jika menggunakan pendekatan problem solving.
Dalam hal merubah peran guru, perlu disadari bahwa strategi pembelajaran problem solving telah merubah gaya murid belajar (students’ style learning) dari sebagai murid pasif belajar menjadi murid yang aktif belajar (construct their own concepts). Sebagai konsekuensi menuntut berubahnya peran guru. Dalam hal berubahnya peran guru, Groves (1990, h. 11) menyatakan bahwa peranan guru adalah sesuatu yang crusial, guru perlu benar-benar terlibat dalam menstimulasi murid untuk aktif berfikir (stimulating children to think), menjaga semangat belajar siswa (maintaining interest), menjaga rasa percaya anak (confidence) dan mengelolanya (organizing) jika diperlukan. Lebih jauh lagi, Stacey and Groves (1985, h. 5) menambahkan bahwa peranan guru adalah:

1. Membawa murid pada suasana siap menerima tantangan atau permasalahan, sebab sebuah masalah bukanlah masalah sampai murid menyadari dan ingin memecahkannya.
2. Membangun atmosper kelas yang mendukung, dimana murid disiapkan untuk memecahkan permasalahan yang asing dan tidak merasa tertekan ketika mereka menghadapi kebuntuan (stuck).
3. Mempersilahkan anak untuk mengikuti cara mereka dalam menemukan solusi dan membantu mereka ketika memerlukan, tanpa memberikan jawaban.

Merubah susunan tempat duduk di kelas. Yang maksudkan di sini adalah bagaimana mengorganisasi murid sesuai dengan aktivitas yang ada pada problem solving. Berdasarkan pengalaman pada pengajaran matematika di sekolah, murid-murid di kebanyakan sekolah duduk secara berbaris (sit in a row) dan hal itu kemungkinan membuat sulit untuk melakukan diskusi dengan teman yang lainnya dalam mengeksplorasi gagasan dan konsep yang tersembunyi di balik (beyond) permasalahan yang diberikan — dan ini sering disebut sebagai salah satu karakteristik (key feature) dari problem solving. Hodgson (1989, h. 350) menyarankan bahwa kelompok kerja (group work) adalah sesuatu yang esensi dalam pengajaran problem solving. Lebih lanjut, Burns (1990, h. 25) menyatakan bahwa belajar bersama dalam group kecil (small group) memberikan banyak kesempatan kepada siswa untuk berinteraksi dengan konsep dibanding dengan apabila murid diskusi kelas besar (class discussion). Keuntungan lain dari grup kecil ini, dintaranya murid memiliki kesempatan untuk bisa berbicara banyak, lebih nyaman untuk ambil resiko (taking the risks) dalam menguji coba pemikirannya selama aktivitas problem solving. Oleh karena itu, perlu merubah posisi tempat duduk siswa agar memungkinkan mereka aktif berpartisipasi dalam diskusi.

Kesulitan yang mungkin dihadapi

Beberapa kesulitan yang berarti mungkin ditemukan ketika mengasimilasikan problem solving matematika ke dalam praktek pengajaran di kelas.
1. Kurangnya pengetahuan dan keahlian guru dalam menerapkan problem solving (teachers lack of the problem solving and modelling skills).
2. Isi dari kurikulum sangat padat dan tidak ada celah untuk problem solving (the curriculum content is very full and there is no room for problem solving).
3. Sistem pengujian (assessment system) masih disentralkan dan ini tidak relevan dengan gagasan problem solving dikarenakan jenis tesnya cenderung dan dominan berbentuk pilihan ganda (multiple choice form). Jenis tes ini tidak memberikan kesempatan pada anak untuk berfikir sebagaimana yang mereka lakukan pada proses problem solving.
4. Besarnya jumlah siswa (the large number of students) dalam setiap kelas juga merupakan salah satu hambatan yang cukup berarti. Karena ini bisa menyebabkan sulitnya bagi guru untuk berinteraksi dengan muridnya ketika problem solving matematika diimplementasikan.
5. Perlu waktu yang lebih (need more time) baik dalam pencarian atau pendesainan problem (sebab setiap problem perlu disusun dengan hati-hati untuk mencapai hasil belajar siswa) maupun berlangsungnya aktivitas problem solving (problem solving progress) di kelas.

Dari penjelasan tersebut di atas, memang tidak ada keraguan bahwa ada sejumlah kesulitan dalam asimilasi problem solving ke dalam pengajaran matematika, tapi keuntungan yang ada jauh melebihi dari pada hambatan yang ditemukan.

Kesimpulan

Dari diskusi tersebut di atas, dapat dirangkum bahwa problem solving matematika memiliki sejumlah keuntungan (benefits). Strategi problem solving tidak hanya mampu mengubah gaya belajar anak dari sebagai pelajar yang pasif menjadi pelajar yang aktif dalam mengkonstruksi konsep mereka, tetapi juga, membuat pembelajaran matematika lebih berarti (more meaningful), masuk akal (make sense), menantang dan menyenangkan (challenge and fun), cocok buat siswa (relevant for students), dan memberikan cara berfikir yang fleksibel (thinking flexibility). Karenanya problem solving matematika dapat dipandang sebagai suatu pendekatan yang penting untuk meningkatkan pemahaman matematika anak.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar