Profesionalisme Guru

Profesionalisme Guru Antara Kualitas, Gaji, dan Pengabdian [Opini]
Oleh: Siswadi Dinianto

Harian Umum Pelita. Indonesia memiliki jumlah guru sekitar 2,6 juta yang tersebar di seluruh wilayah Nusantara. Hampir separo dari jumlah guru di Indonesia tidak layak mengajar. Kualifikasi dan kompetensinya tidak mencukupi untuk mengajar di sekolah. Demikian pernyataan Direktur Jenderal Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan Fasli Djalal di sebuah surat kabar nasional.
Lebih rinci disebutkan, saat ini yang tidak layak mengajar atau menjadi guru sekitar 912.505. Terdiri atas 605.217 guru SD, 167.643 guru SMP, 75.684 guru SMA, dan 63.961 guru SMK. Pernyataan ini disampaikan berkenaan dengan wacana guru profesional, guru yang kompeten sebagai syarat untuk memperoleh tunjangan profesi guru dan peningkatan kualitas pendidikan di Indonesia.
Usaha untuk membuat profesi guru menjadi profesional sudah dilakukan oleh pemerintah salah satunya dengan adanya syarat bagi seorang guru tertentu untuk mengikuti akta IV dan pendidikan khusus lainnya agar bisa menjadi guru negeri dilingkungan pendidikan nasional.
Guru selalu mendarma baktikan tenaga dan pikirannya demi kemajuan pendidikan, dan mereka juga ikhlas dalam melakukannya. Oleh karena itu dalam sejarah pendidikan, tentu seorang gurulah yang paling awal muncul, baru kemudian murid dan infrastruktur lain yang terkait dengan paradigma pengelolaannya. Lihat saja Ki Hajar Dewantara, Moh. Syafei, R.A. Kartini, Dewi Sartika dan tokoh-tokoh pendidikan lainnya, mereka semua adalah guru yang kemudian menciptakan sebuah pendidikan. Setelah terciptanya pendidikan baru kemudian berkembang kurikulum yang berkaitan dengan manajemen lembaga pendidikan, seperti bangunan sekolah, kepala sekolah, karyawan, hingga sampai pada perdana mentri pendidikan.
Sebuah reposisi guru sangat diperlukan karena perannya tidak lagi hanya sebagai pengabdi pendidikan yang dicekoki rutinitas, tapi harus menjadi pendidik murni. Profesi guru harus mendapatkan kesempatan-kesempatan yang luas untuk mengembangkan sendiri pola pembelajarannya dan meningkatkan kualitas pribadi sehingga bisa menghasilkan anak didik yang cerdas dan bermoral.
Kualitas Guru
Sebagai contoh laporan Bahrul Hayat dan Umar (dalam Adiningsih,: 2002) tentang kualitas guru Indonesia. Mereka memperlihatkan nilai rata-rata nasional tes calon guru PNS di SD, SLTP, SLTA, dan SMK tahun 1998/1999 untuk bidang studi matematika hanya 27,67 dari interval 0-100, artinya hanya menguasai 27,67% dari materi yang seharusnya. Hal serupa juga terjadi pada bidang studi yang lain, seperti fisika (27,35), biologi (44,96), kimia (43,55), dan bahasa Inggris (37,57). Nilai-nilai di atas tentu jauh dari batas ideal, yaitu minimum 75% sehingga seorang guru bisa mengajar dengan baik.
Hasil lain yang lebih memprihatinkan adalah penelitian dari Konsorsium Ilmu Pendidikan (2000) memperlihatkan bahwa 40% guru SMP dan 33% guru SMA mengajar bidang studi di luar bidang keahliannya. Paparan ini menggambarkan sekilas kualitas guru di Indonesia, bagimana dapat dikatakan profesional jika penguasaan materi matapelajaran yang diampu masih kurang, dan bagaimana dikatakan profesional jika masih ada 33% guru yang mengajar diluar bidang keahliahanya. Seperti yang diungkap oleh Geist (2002) bahwa Professionals are specialists and experts inside their fields; their expertise is not intended to be necessarily transferable to other areas, consequently they claim no especial wisdom or sagacity outside their specialties.
Rendahnya kualitas guru baik dari segi pendidikan akademik maupun lainnya menggambarkan betapa rendahnya kualitas pendidikan Negara Indonsia. Peningkatan kualitas pendidikan dan kemampuan guru wajib untuk dilakukan demi memajukan pendidikan nasional.
Gaji Guru
Gaji guru sangat mempengaruhi etos kerja seseorang dalam dunia pendidikan. Sebagai gambaran gaji guru pegawai negeri sipil berkisar antara Rp 2.000.000,- Tetapi seberapa sibukkah seorang guru sehingga ia layak mendapatkan penghasilan dari kerjanya itu. Marilah berhitung dengan memakai acuan jam wajib mengajar 24 jam pelajaran perminggu maka selama 1 bulan total jam mengajar guru adalah 108 jp. Maka total waktu selama 1 bulan 106 jp x 45 menit = 4.770 menit (79 jam 30 menit) Jika hal itu dijadikan patokan penggajian seperti seseorang dengan masa kerja 9 tahunan ditambah dengan tunjangan 1 istri dan 1 anak, juga termasuk didalamnya tunjangan fungsional dan tunjangan beras maka total yg saya terima sebesar Rp2.000.000. Jadi rata-rata perjam seorang memperoleh gaji Rp25.000. Lain lagi dengan seorang guru honorer atau swasta yang hanya digaji Rp 500.000,- yang jika dihitung sebulan rata-rata perjam memperoleh gaji Rp6.250. Gaji sebesar itu apakah layak atau tidak kita sudah tahu jawabannya sendiri.
Namun tugas guru tidaklah hanya mengajar, masih ada tambahan tugas lain seperti kegiatan persiapan mengajar, melakukan evaluasi tugas dan hasil kerja siswa, belum lagi yang memiliki tugas lain seperti sebagai wali kelas, guru piket, wakil kepala sekolah, pengelolah unit2 seperti laboratorium, dan lain-lain sesuai keperluan sekolah.
Di Indonesia upaya untuk meningkatkan gaji guru mulai diadakan dengan program sertifikasi guru dijalankan, maka pada 2011 sekitar 1,3 juta guru dengan predikat pendidik profesional yang memerlukan gaji dan tunjangan profesi mencapai 77,46 triliun rupiah. Jumlah tersebut lebih besar dua kali lipat dari total pengeluaran untuk gaji pada 2005. Angka yang fantastis itu pun belum menyangkut berbagai hal yang secara substansial perlu dibenahi untuk menciptakan guru berkualitas sesuai tuntutan masa depan.
Meski tidak bisa diperbandingkan sepenuhnya dengan situasi saat ini, tetapi setidaknya kenyataan itu mengingatkan bahwa kualifikasi akademik hanya menyelesaikan sebagian kecil masalah. Apalagi bila formalitas yang lebih dikejar, bukan substansinya. Peningkatan kualifikasi akademik guru menjadi S1, menjadi tidak bermakna bila gelar kesarjanaan yang diperoleh guru tidak relevan dengan yang ia ajarkan sehari-hari di kelas, atau didapat melalui jalan pintas.
Pengabdian Guru
Disamping dengan keahliannya, sosok professional guru ditunjukkan melalui tanggung jawabnya dalam melaksanakan seluruh pengabdiannya. Guru professional hendaknya mampu memikul dan melaksanakan tanggung jawab sebagai guru kepada peserta didik, orang tua, masyarakat, bangsa, negara, dan agamanya. Guru profesional mempunyai tanggung jawab pribadi, social, intelektual, moral, dan spiritual. Tanggung jawab pribadi yang mandiri yang mampu memahami dirinya. Tanggung jawab social diwujudkan melalui kompetensi guru dalam memahami dirinya sebagai bagian yang tak terpisahkan dari lingkungan sosial serta memiliki kemampuan interaktif yang efektif. Tanggung jawab intelektual diwujudkan melalui penguasaaan berbagai perangkat pengetahuan dan keterampilan yang diperlukan untuk menunjang tugas-tugasnya. Tanggung jawab spiritual dan moral diwujudkan melalui penampilan guru sebagai makhluk yang beragama yang perilakunya senantiasa tidak menyimpang dari norma-norma agama dam moral.
Guru profesional adalah guru yang mengenal tentang dirinya. Yaitu, dirinya adalah pribadi yang dipanggil untuk mendampingi peserta didik untuk/dalam belajar. Guru dituntut mencari tahu terus-menerus bagaimana seharusnya peserta didik itu belajar. Maka, apabila ada kegagalan peserta didik, guru terpanggil untuk menemukan penyebabnya dan mencari jalan keluar bersama peserta didik; bukan mendiamkannya atau malahan menyalahkannya.
Menjadi guru bukan sebuah proses yang yang hanya dapat dilalui, diselesaikan dan ditentukan melalui uji kompetensi dan sertifikasi. Karena menjadi guru menyangkut perkara hati, mengajar adalah profesi hati. Hati harus banyak berperan atau lebih daripada budi. Oleh karena itu, pengolahan hati harus mendapatkan perhatian yang cukup, yaitu pemurnian hati atau motivasi untuk menjadi guru.
Sikap yang harus senantiasa dipupuk adalah kesediaan untuk mengenal diri dan kehendak untuk memurnikan keguruannya. Mau belajar dengan meluangkan waktu untuk menjadi guru. Seorang guru yang tidak bersedia belajar, tak mungkin kerasan dan bangga menjadi guru. Kerasan dan kebanggaan atas keguruannya adalah langkah untuk menjadi guru yang profesional.

Guru yang Ideal
Sang guru adalah pendamping utama kaum pembelajar, orang-orang muda dan benih-benih kehidupan masa depan, dalam proses menjadi pemimpin. Sang guru adalah aktor intelektual yang selalu ada dibelakang layar, ia semacam provokator yang tut wuri handayani. Sang guru belajar dari dirinya sendiri, ketika pemimpin belajar pada semua orang dan terinspirasi oleh matahari, air, api, atau alam semesta, sedangkan pembelajar belajar pada idolanya, tokoh-tokoh yang dikaguminya.
Bagi seorang guru untuk bersungguh-sungguh mengajar yang paling menentukan bukanlah gaji, meski gaji yang tidak mencukupi kebutuhan dasar memang dapat mengganggu ketenangan dan totalitas mengajar. Sebaliknya, pertambahan gaji yang tidak diiringi oleh kuatnya komitmen sebagai guru tidak cukup memadai untuk membuat seorang guru mengajar dengan totalitas. Menjadi manusia guru, itulah tugas dan panggilan tertinggi seorang manusia. Dan, sejarah mengajarkan kepada kita bahwa hanya segelintir orang yang mampu membawa dirinya sampai ketahap itu.
Memiliki rasa pengabdian kepada masyarakat. Pendidikan memiliki peran sentral dalam membangun masyarakat untuk mencapai kemajuan. Guru sebagai tenaga pendidikan memiliki peran penting dalam mencerdaskan kehidupan masyarakat tersebut. Untuk itulah guru dituntut memiliki pengabdian yang tinggi kepada masyarakat khususnya dalam membelajarkan anak didik.
Bekerja atas panggilan hati nurani. Dalam melaksanakan tugas pengabdian pada masyarakat hendaknya didasari atas dorongan atau panggilan hati nurani. Sehingga guru akan merasa senang dalam melaksanakan tugas berat mencerdaskan anak didik.
Penulis adalah pemerhati pendidikan